My Playlist

Sabtu, 16 November 2013

Cerpen Sedih

Sesungguhnya Rasa Sakit Itu Ada

Tak  tahu apa yang ia lakukan. Hita masih saja melangkah, masuk kemudian keluar lagi dari satu tokok ke toko lain. Toko baju, alat tulis, aksesoris, buku sepatu, dan toko lainnya di supermarket itu sudah Rei masuki. Dan pada akhirnya, Hita masuk dan menikmati buku setelah sekian kali ia masuk di toko buku yang berbeda. Ia ditemani cup berisi kopi yang hanya ia gigit terus ujung sedotannya.

“Ah, akhirnya ku temukan juga buku ini!” ucap Rei dengan riangnya.

Segera ia berlari ke meja kasir dan membayarnya. Tapi, tak tahu dari mana, ada dompet yang tersungkur di lantai tepat Rei berdiri. Hita pungut dan melihat kartu identitas yang ada didalamnya. Ia tidak mengenal sama sekali foto KTP itu. Oke, Rei akan mengembalikannya langsung kepada pemiliknya.
********
Pagi ini Rei sudah berdandan rapi dengan dibalut blus putih tiga perempat dan rok hitam setinggi lutut. Rei masih tetap cantik, meski dandannya seperti orang culun. Gadis keturunan Jepang itu berjalan menuju kampus. Yang akan menghadapi OSPEK yang amat menyedihkan. Ya ampun! Benar saja, Rei mendapat kesialan hari ini. Ia dihukum untuk mencari orang yang berulang tahun hari ini dan meminta tanda tangannya.

Berlari Rei yang seorang diri kesana- kemari. Ke perpustakaan, ke ruang tata usaha, atau manapun yang pernah mencatat data seluruh mahasiswa dan mahasiswi di kampus ini.

“Ah, mana sih? Sial jika tidak ketemu. Nah… ini!”

Jerit Rei membuat bising suasana perpustakaan. Tertulis Ibrahim Sanjaya anak komunikasi semester 3. Rei sudah menemukannya. Ia satu-satunya orang yang berulang tahun hari ini. Sungguh aneh.

Segera Rei berlari untuk kesekian kalinya. Mencari orang itu dan bertanya kepada setiap orang yang ia temui.

“Kak permisi, apa kalian tahu Ibrahim Sanjaya anak komunikasi semester 3?”
“Kebetulan sekali, ini dia. Hanya ada satu yang punya nama Ibrahim Sanjaya,” ucap salah satu kakak kelas yang menunjuk orang didepannya.

Bukannya menanyakan ada perlu apa mencari dirinya, tetapi laki-laki jangkung itu beranjak berdiri dan pergi.

“Kak, kak, tunggu. Permisi aku hanya ingin minta tanda tanganmu. Aku mohon,” pinta Rei dengan terus mengejarnya.
“Apa maksudmu?” tanya laki-laki itu dengan masih berjalan dan sama sekali tidak menatapku, sekali saja tidak.
“Aku dihukum. Tolonglah aku. Aku sudah lelah mencari informasi kesana- kemari dan akhirnya aku menemukan orang yang satu-satunya berulang tahun hari ini. Ayo, tolonglah tanda tangan disini.”
“Ulang tahun? Maaf saja aku tidak pernah merayakannya. Sekali pun tidak. Aku tidak pernah suka dengan ulang tahunku. Jadi, peduli apa aku,” jawabnya ketus sambil bersandar di bangku dengan telinga tertutup headseat. Matanya tertutup. Tidak tahu tidur atau hanya sekedar menikmati alunan lagu.

Rei pergi. Bukan pergi karena menyerah. Tetapi, Rei pergi untuk menggambar ucapan ulang tahun dengan ukuran huruf lumayan besar. Untuk apa ucapan itu? Untuk laki-laki itu.

“Happy birthday to you… Happy birthday to you… Happy birthday…. Happy birthday…. Happy birthday to you.” Hita menyanyikan lagu itu dengan semangat sambil menghadap handycam yang ia bawa.

“Eh, apa-apaan ini. Hei…. Apa yang sudah kau lakukan?”
“Jika aku tidak bisa mendapatkan tanda tanganmu, aku sudah mendapat videoku bersamamu. Ini kartu ucapanmu dan dompetmu yang jatuh kemarin,” ucap Rei yang selanjutnya melangkah meninggalkan laki-laki itu.

Rei segera berlari menuju kakak kelas yang menghukumnya. Ia sudah menunggu Rei di pintu masuk utama.

“Lama sekali kau ini. Lihat sini apa yang sudah kau dapat!”
“Ini. Maaf, aku hanya bisa mendapat videonya,” ucap Rei sambil menyerahkan handycam miliknya kepada kakak kelas yang menghukumnya.
“Tidak mendapat tanda tangan, kau harus membersihkan toilet.”
“Apa?”
“Hei, Gilang. Apa-apaan kau ini. Biarlah, kasihan dia,” teriak laki-laki yang berulang tahun tadi.
“Okelah sobat… Aku hanya bercanda mengerjai perempuan ini. Hei, kali ini aku maafkan kau.”
“Tidak kau maafkan sekalipun aku tetap tidak akan menuruti perintahmu lagi. Dasar!” gerutu Rei yang sambil melangkah, menjauh dari mereka berdua.

Selesai OSPEK, harus ada yang Rei jalani lagi. Lebih berat. Yaitu seleksi anggota orchestra baru yang akan mewakili tingkat nasional. Rei memang sengaja mendaftarkan diri karena ia termasuk pemain piano dan biola yang hebat.

Penonton dan dosen-dosen yang menjadi saksi seleksi itu. Termasuk Bram yang sudah menjadi senior di orchestra itu. Bram melihat satu per satu calon seleksi, tapi hanya satu yang ia tahu, cewek itu.

‘Perempuan itu ternyata punya talent juga’ ucap Bram dalam hati. Waktu itu, Rei membawakan lagu “Kiss the Rain” karya Yiruma dengan permainan piano. Merdu. Mampu membius orang yang yang mendengarnya. Jemari mungilnya amat lihai menyentuh tiap tuts piano. *Prakk. Kk…kk..* Suara riuh dari tepuk tangan penonton mengakhiri penampilan Rei hari ini.

Dig… Dug…. Dug…. Berdebar hati Rei semakin cepat. Secepat pengumuman terpilihnya anggota orchestra. Dan akhirnya… nama Rei terpanggil.

“Kirei Tunggadewi….”

Rei naik ke panggung. Berdiri bersama anggota orchestra yang terpilih lainnya, juga bersama Kak Ibrahim yang waktu itu.

Rei anak yang cerdas. Anak komunikasi yang aktif di berbagai macam kegiatan di universitasnya. Meski ia selalu tergolong anak paling muda disetiap kegiatan yang ia ikuti. Tidak hanya dikegiatan ia aktif, tetapi juga di fakultas yang ia jalani. Ia sungguh-sungguh menjalankannya. Unggul di antara lainnya. Tak pernah sekalipun ia absen. Rei selalu masuk, mengumpulkan tugas-tugas tepat waktu.

Sudah 2 semester, Rei lalui. Sangat cepat. Secepat keakraban Rei dengan Kak Ibrahim. Kak Ibrahim anak yang cuek, dingin, dan hanya sedikit orang saja yang biasa bercakap-cakap dengannya. Rei pun sendiri kenal karena Kak Ibrahim sering menjadi pelatih pianonya. Kak Ibrahim sebenarnya sering dipanggil Bram, mengingat namanya yang terlalu panjang.

“Kenapa kau begitu dingin, Kak? Bukankah banyak perempuan yang tertarik padamu?” tanya Rei  pada suatu hari.
“Apakah harus aku jawab pertanyaanmu itu, Chan?”
“Emm… harus, karena aku adalah temanmu. Ayolah, jawab. Aku hanya ingin tahu saja,Kak,” pinta Rei dengan wajah yang berseri-seri.
“Oke… Dengar! Aku sudah tidak mempunyai mama.”
“Lalu? Apa nyambungnya?”
“Aku sayang mama. Mama orang yang sempurna dimataku. Sampai saat ini aku belum menemukan teman sebagai penggantinya. Dan kenapa aku tidak suka dengan hari ulang tahunku, itu juga karena dimana tepat hari ulang tahunku mama meninggal. Meninggalkan aku. Aku benci semua itu.”
“Ayahmu?”
“Ayahku memang baik, tetapi ia sering pergi, tidak pernah memperhatikanku semenjak adik perempuanku meninggal dalam kecelakaan hebat,” cerita Kak Bram dengan raut muka datar.
“Lalu?”
“Lalu aku memutuskan untuk bersikap dingin. Aku juga tidak tahu. Ini sudah keinginanku. Lucu ya?”
“Tidak terlalu. Jadi begitu…. Oke aku tidak akan bertanya lagi kepadamu. Janji!”

Mengapa Rei bisa seakrab itu dengan Bram? Rei sendiri pun tidak tahu. Ia tidak mau menanyakan hal itu kepada Bram. Dari jalan-jalan, mengerjakan tugas, dan latihan musik selalu dilakukan berdua. Tetapi, ada sesuatu yang mungkin akan membuat Bram terpukul. Rei jatuh sakit. Sebenarnya itu sudah cukup lama. Jauh sebelum Rei mengenal Kak Bram.

“Kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, Kak. Hanya sekarang aku merasa tubuhku kedinginan,” ucap Rei begitu saja. Dan tiba-tiba Bram memeluk Rei. Seolah tidak ingin kehilangannya.
“Berjanjilah padaku, Rei…. Bahwa kau tidak akan meninggalkanku. Aku tidak ingin kehilangan kau, sama seperti aku sudah kehilangan mamaku. Aku akan menjagamu. Sungguh.”
“Tidak bisa, Kak. Maaf aku tidak bisa melakukannya untukmu,” ucap Rei yang sambil melepaskan pelukan Bram dan pergi meninggalkannya.

Sudah lama sejak Rei pergi meninggalkan Bram, Rei tidak pernah terlihat lagi di kampus ataupun ditempat yang biasa Hita kunjungi. Sampai tiba hari ini, tepat dihari ulang tahun Bram. Tetapi, Bram juga tidak peduli soal ulang tahunnya. Yang ia pedulikan hanyalah kehadiran perempuan itu disampingnya. Tapi kali ini, Rei muncul di kampus, berteriak, berlari menemui Bram.

“Hai, Kak Bram. Happy Birthday ya…. Maaf aku tiba-tiba menghilang,” ucap Rei dengan raut muka penuh kebahagiaan, meski tubuhnya kini semakin kurus.
“Terima kasih atas ucapanmu, Chan. Kemana saja kau ini? Aku lelah mencarimu. Apa yang sedang kau sembunyikan saat ini?”
“Yang aku sembunyikan? Aku sama sekali tidak menyembunyikan apa-apa darimu. Sungguh.”
“Jangan kau membalikkan pertanyaanku. Oke cukup, lupakan saja,” ketus Bram sambil perlahan meninggalkan Rei. Tidak tahu dengan apa yang Bram pikirkan. Semula ia ingin Rei disampingnya, tetapi saat perempuan itu sudah ada disampingnya, Bram pergi. Mengelak kedatangan gadis itu.
“Oke… jika itu maumu, Kak. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padamu saat ini,” sedikit demi sedikit butiran air mata Rei jatuh dan ia melanjutkan kata-katanya.

“___ Kau tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi, lihatlah, ke atas. Di langit. Apa kau melihat semua itu? Kulakukan semua untukmu. Untuk orang yang baru pertama kali merayakan ulang tahunnya hari ini,” sepertinya Bram belum sepenuhnya pergi. Ia menengok ke langit. Gumpalan berwarna putih seperti awan membentuk tulisan Happy Birthday. Good luck for future dengan bantuan pesawat yang mengitarinya.

“Aku…..” Belum menyelesaikan kata-katanya, Bram melihat Hita sudah tidak ada di belakangnya. Sungguh ia manusia bodoh di dunia ini.

*Kringg… kringg…* Dering handphonenya membuat Bram kaget. “Halo….” “Oh, ya tante.”

“Begini, Nak. Apa kamu tahu Kirei kemana? Dia seharusnya menjalani pengobatan penting hari ini.”
“Saya tidak tahu tante. Memang tadi Rei menemui saya, tapi setelah itu ia pergi entah kemana. Pengobatan penting? Rei sakit ya tante?”
“Iya, Kirei sakit jantung koroner. Penyakitnya itu sudah memasuki stadium akhir. Sekali saja ia membangkang dari pengobatannya, itu akan membahayakan hidupnya.”

Selesai dengan penjelasan ibunda Rei, Bram pulang. Pulang dengan perasaan kacau-balau. Antara menyesal dan kasihan. Dimana seorang Rei sekarang ini? Padahal tinggal sehari lagi ada acara wisuda bagi Bram. Bram tidak tahu Rei akan mengisi acara itu atau tidak.

Tiba pada hari yang dimaksud, Bram bersiap untuk ke kampus dan duduk di deretan bangku nomor 2. Acara pertama dibuka dengan persembahan dari Kirei Tunggadewi dengan lagu “My Heart” karya Acha-Irwansyah. Suaranya begitu merdu mengiringi permainan pianonya. Bram menangis melihat penampilan Rei. Tiba-tiba dering handphone Bram berbunyi. Ada pesan masuk. 

Isi pesan itu adalah :
“Ibrahim Sanjaya. Maaf aku selalu membuatmu gelisah. Membuatmu lelah mencariku. Terjebak di dalam kehidupanku. Mencari apa yang membuatmu bahagia itu tujuanku. Aku pun rela kehilangan hidupku jika itu untukmu. Tuhan telah menyiapkan ini semua untuk kita, Kak. Penyakit itu telah melemahkan dayaku. Menatapmu saja aku tidak sanggup. Tidak karena aku tidak ingin kau ikut merasakannya. Jiwaku sudah terkikis. Tapi rasa itu tidak. Sedikitpun tidak. Tapi saat ini, angin kematian perlahan-lahan menjemputku. Jaga dirimu baik-baik. Jadilah orang yang lebih baik, lebih dari seorang Ibrahim yang kukenal selama ini. Selamat tinggal, Kak.”

Itu pesan dari Rei. Pesan terakhirnya. Selesai membaca pesan itu, Bram menitikkan air mata. Menatap sendu perempuan yang sedang menguatkan diri di hadapannya. Perempuan itu masih bisa tersenyum, menatap dirinya yang sudah berlumur air mata. Sorotan matanya membuat Bram tetap tenang. Meski terdapat setitik air mata di kedua bola matanya.


Rei selesai memainkan piano. Menyingkir dari piano, beranjak berdiri, dan mendudukan kepala tanda memberi ucapan, tapi setelah itu ia pingsan. Tergeletak di dekat piano kesayangannya. Semua orang sudah berada disekitarnya, menolong, tapi tidak untuk Bram. Ia masih duduk ditempatnya. Berat untuk mendekati tubuh Rei di sana. Semua orang menangis. Rei bukan pingsan, tapi ia menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan kenangan manis didunia ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar