My Playlist

Jumat, 01 November 2013

Cerpen Kasih Sayang

Hitam dan Putih 
“Jika tak ada putih, kita pun tidak tahu jika itu bisa dibilang hitam. Jika tak ada hal baik di dunia ini, kita tidak tahu bahwa bisa dibilang ada hal jelek. Demikian juga dengan cantiknya perempuan, tak bisa dibilang jika tidak ada perempuan yang jelek.”

Perbedaan itu memanglah indah. Seperti halnya Lingga dan Ratri. Dua bersaudara yang mempunyai sifat 180 berbeda. Ibarat air dan minyak yang sama sekali tak mau menyatu.
Malam sudah menampakkan batang hidungnya. Dewi rembulan telah bersemayam di peraduannya. Jam dinding disana sudah berdetak 11 kali. Angin malam masih bebas masuk menyelimuti ruang kamarku. Seiring dengan pikiranku yang mengglayut memikirkan suatu hal. Suatu hal yang tak mestinya ia pikirkan. Ratri segera beranjak dari ranjangnya. Pergi untuk menutup semua jendela di ujung sana.  Ratri mulai memejamkan kedua bola matanya, berharap esok pikiran itu sudah enyah dan hanyut terseret waktu.
“Ayolah, jangan jadi anak yang pemalas! Cepat bangun dan segera bersiap-siap!”ucap Ratri yang kesal dengan sifat adiknya, Lingga.  
“Oke-oke, jangan marah-marah mulu dong!”jawab Lingga. Hari ini cuaca sangat cerah. 
Matahari sudah merangkak ke atas dan menyunggingkan senyumnya untuk kami. Senin, 4 Maret 2013. Hari ujian pertamaku. Yap, ujian tengah semesterku di kelas 8 ini.  Berbagai perasaan menggeliat masuk tanpa seizinku. Gemuruh juga berpacu di dada ini. Terdapat serpihan keraguan disisi hatiku. Hah, keraguan?? Ya.. meski Ratri dinilai anak yang pandai, tapi untuk kali ini entah kenapa dia merasa bahwa dirinya belum siap. Apakah belum belajar? Tapi gimana pun juga, ia harus siap mental. Setelah makan sari roti dan susu, Ratri dan Lingga segera berangkat. Hanya kata “bismillahirrahmanirrahim” yang mampu mengiringiku untuk menghitami ljk. Berharap tangan ini menunjuk ke jawaban yang benar. Dan mata ini mampu menjelajahi tiap sudut soal. Yang terakhir, berharap hati ini berbicara polos mengenai betul tidaknya jawabanku.
Ratri memang bisa dibilang anak yang disiplin. Apalagi kalau ujian begini. Ia harus membagi porsi waktunya. Untuk santai, bermain, belajar, dan olahraga. Meskipun ujian, tetapi olahraga tetap menjadi makanan pokok buat Ratri. 
“Woi…!!! Lingga… bisa ga sihh kamu matikan dulu tv nya!!! Hargai dikit dong!” bentakku karena televisi itu hampir saja membuatku menyemburkan lahar panas dari kepala. 
O, ya saat aku sedang susah-susah menjalani ujianku, adikku Lingga memang tidak sedang ujian. Ia ujian 1 minggu setelahku.  
“Enak saja lu, kalau mau belajar, belajar aja sana. Katanya si pandai, seharusnya kan harus bisa beradaptasi dengan badai angin dirumah ini. Weekk!!!” ucap Lingga yang sengaja membuatku semakin ingin mengeluarkan wedus gembel. 
Dan benar saja, bukan wedus gembel yang membumbung tinggi, tapi sepasang sandal yang melayang ke arah Lingga. Secepat kilat Lingga lari terbirit-birit keluar rumah. 
“Hei.. hei, kalian ini apaan sih? Kalian ini anak perempuan lho! Apa pantas berbuat seperti ini? Ratri, kamu ini sudah besar! Malu mama sama tetangga,” ucap mama yang terdengar sangat tidak datar. 
“ARGH……..!!!!!!” keluh kesalku.
Dan BRAAKKKKKK……. Suara pintu itu menggetarkan bumi yang dipijak ini sampai mau runtuh. Di sudut pojok kamar Ratri terdapat seorang anak berambut panjang duduk tertunduk. Dan sepertinya ia membawa berjuta ton masalah. Siapa dia? Itu Ratri sendiri! Belajar? Itu bukan moodnya dia lagi. 
“Kenapa sih aku seolah seperti si pembuat masalah, si pengkisruh, dan apalah what ever dirumah ini….”gumamku.
 Pertanyaan yang selalu bertamu dan singgah di hatinya. Aku memang tidak pernah suka dengannya. Dengan dia yang selalu membuat rumah ini seolah menciut tanpa sebab. Dan rumah ini seakan sesak karenanya. Itu penilaianku. Tapi… bagaimana dengan mama? Lingga. Dialah anak emasnya, sekalipun sebenarnya dia yang salah.
Hingga akhirnya sampai di penghujung ujian tengah semester. Hari terakhirku ujian. Kurang 1 lembar ljk yang menangis minta dihitamkan. Tetapi kurasa, rasa malas sudah menancapkan ribuan bambu runcing di sekitar tempat tidurku. Buat apa? Ya buat apa lagi kalau tidak buat menghalangiku masuk sekolah. Memang dasar ya! Tapi seakan badai besar telah menghempas ribuan bamboo runcing itu. 
“Aku harus segera menyelesaikan hari ini”, pikirnya. 
Dengan tekad kuat Ratri segera lari tunggang langgang karena sebenarnya ini sudah pukul 06.15 WIB. “Aku harus menyelesaikan hari ini”. Kata-kata itu yang selalu menghipnotis pikiran Ratri. Hingga akhirnya, ia duduk rapi dideretan bangku sebelah kiri. Ujian hari ini siap dimulai!!! Dan di akhiri…
Yap semua sudah selesai. Hanya tinggallah sebuah hasil yang berdiri menantiku di sana. Sebuah hasil dimana Ratri masih merasakan ada beberapa serpih keraguan. Keraguan??  Ya.. keraguan apakah ia bisa meraih nilai dan ranking setinggi langit? Segera ku hapus keraguan itu dengan doa. 
“Aku yakin hatiku sudah berbicara mengenai kebenaran”, ucapku dalam batin.
Pukul 10.00 WIB. Ratri segera pulang ke rumah kecilnya itu. Tak ada list yang menunjukkan ia mau bepergian seperti layaknya teman-teman Ratri. Hanya saja tumpukan buku yang akan menghajarnya. Yeah benar! Hari ini tugas sangat menumpuk. Menumpuk dan membentuk seperti monster. Ratri segera menegak segelas air aqua. Dan segelas air itu sudah menjalar sampai ke dasar tenggorokannya. Membuat rasa haus hilang seketika ditelan teriknya matahari yang menyengat.  Karena siang ini panasnya minta ampun. Meskipun ia sudah berada di dalam rumahnya. Secepat kilat, Ratri menyelesaikan tugas-tugasnya di kamar Lingga. Kok di kamar Lingga? Ya.. sebab kamarku sudah berada di angka 100 celcius. Waduhh hampir mendidih dong?? Mungkin itu ilustrasi yang pantas untuk menggambarkan kamarku yang sempit yang diselimuti teriknya matahari. 
“Aku pulang..”, suara Lingga terdengar jelas dari sebuah pintu yang terletak paling depan. 
“Hei!!!!!! Apa-apaan ini??! Kenapa kak Ratri menjejaki kamarku? Sudah pergi!!” cetus Lingga sambil mengusirku keluar dari kandang sapinya. 
Kandang sapi? Itu deskripsi yang mirip dengan kamarnya. 
“Eh.. eh ga sopan banget sih kamu. Gini-gini juga kakakmu!!”, balasku yang kesal dengan Lingga. 
Dan disaat begitu, lagi-lagi mama datang dengan berjuta nasihatnya. Pasti itu buatku.
DUARRRR....Ratri harus kembali lagi ke kamar 100 celciusnya itu. 
“Kenapa sih anak satu itu seperti kuman yang selalu mengusik setiap sudut kehidupanku", keluh Ratri. 
Hal-hal sekecil plankton pun selalu bisa membuat Ratri dan Lingga bertengkar. Bahkan selembut debu.
Hingga pada akhirnya semua kejadian diatas telah membawa keterbalikan yang nyata. Apa itu? Tepat 1 minggu setelahku, Lingga ujian. Saatnya pembalasan yang kejam dariku. 
“Kak Ratri … minta tolong dong?? Tolong ajari aku agama…”rengek Lingga yang dari dulu tidak pernah bisa menguasai agama Islam. 
Terutama baca Al-Qur’an. “Belajar aja sendiri!!”, jawab Ratri dengan acuh tak acuh dan nyelonong pergi untuk mandi. 
Terlihat jelas terdapat raut muka yang kecewa di wajah ayu Lingga. Ayu? Memang sih harus aku akui bahwa wajah adikku ini memang ayu. Sedangkan aku mempunyai wajah yang manis. Setelah mandi yang hampir setengah jam, bagai mandi kembang untuk putri khayangan, Ratri berniat untuk mengajari adik cantiknya itu. 
“Sini biar kakak yang ajari kamu”,ucapku dengan suara lembut. 
Nampak wajah yang berseri-seri di raut muka Lingga. Menandakan bahwa selama Ratri mandi ia sangat berharap ada 1 keajaiban dalam jiwa Ratri yaitu mengajarinya. Satu keadaan yang benar-benar membuat Ratri dan Lingga melebur menjadi 2 bersaudara yang sesungguhnya.
Tetapi, hanya hari itu saja. Hari itu saja? Ya.. Tepat setelah akhir dari ujiannya Lingga. Setelah Lingga benar-benar tidak menanggalkan sedikitpun lembar jawaban kosong begitu saja. Ratri dan Lingga kembali seperti tikus dan kucing. Mereka tetap bertengkar. 
“Bagaimana ujiannya, adikku sayang?”ucap Ratri yang diiringi dengan nada mengejek.
 “Enak aja! Ngeledek?? Aku juga bisa kali’!” jawab Lingga yang benar-benar tidak mau mengalah. 
Lagi-lagi disini Ratri menjadi sasaran tembakan nasihat mamanya. 
“RATRIII….” Dangan kuping yang ditutupi, ia segera berlari ke kamar.
 Berlari dari amukan badai dari mamanya. Dan menutup pintunya.. BRAAAAKKKKK.!!! Seolah bumi ini bergetar untuk kesekian kalinya dan meminta untuk dihentikan.
Hingga suatu ketika, Lingga tidak sengaja menumpahkan air minum ke karya Ratri. Sontak muka Ratri berubah menjadi merah. Malu? Bukan! Itu marah.  Suara Ratri menggelegar hingga ujung langit dan hingga ujung bawah tanah sana.
 “Heii!! Kakak sudah bilang kan, jangan sentuh atau dekati lukisan itu, lukisan itu mau kakak kumpul besokk…..Lingga! kamu ngerti ga sihh?!? Trus kalau udah gini kamu mau apa? Ganti? Alahh….”bentak Ratri yang benar-benar sudah tidak bisa menahan panasnya emosi di dadanya.
 “Ratriii… sudah mama bilang berkali-kali jangan suka bersikap seperti itu! Mama malu nak”, ucap mama yang benar-benar memakai nada paling tinggi diurutan tangga nada. 
“Sudah ma.. Mama hanya bisa membela Lingga! Aku benci kalian!” bentak Ratri dengan kasar dan ketus. 
Kali ini setan yang bercampur dengan amarah sudah tidak bisa terkalahkan lagi, meskipun saat itu hawa sangatlah dingin. Karena percek-cokan itu, Ratri sangat marah dan mengurung diri selama sehari. Bahkan ia tak mau berbicara untuk beberapa hari ini.
Bagai angin yang mengabarkan berita duka. Selang beberapa hari, Lingga sakit. Ia terbaring lunglai, lemas tak berdaya. Serasa tubuhnya tak bernyawa. Hanya sebuah pulau kapuk dan beberapa kumpulan busa putih yang menemaninya. Dimanakah Ratri? Benar-benar dilema. Antara Lingga dan tugas. Suatu pilihan yang selalu menjejali pikirannya. Hati yang terombang-ambing oleh keadaan. Sebagai seorang yang professional, ia memutuskan untuk menyelesaikan terlebih dahulu tugasnya. Tugasnya yang akhir-akhir ini selalu mengepung diri Ratri di dalam sebuah penjara kebingungan. Tugas selesaiiii……..!! Suatu kebebasan yang sangat melegakan. Setelah semua urusan dengan monster-monster itu selesai, Ratri terus menjaga Lingga, meskipun ia tertidur pulas. Loh kemana mama Ratri? Keadaan yang benar-benar menyulitkan. Mama Ratri tiba-tiba mengeluh badannya sakit-sakit. Seperti ditusuk-tusuk paku. Apapun yang mereka inginkan pasti akan Ratri turuti. Seolah sifat Ratri berubah. Layaknya bumi ini yang telah berubah menjadi sebuah malapetaka karena tangan jahil dari manusia-manusia tak bertanggung jawab. Ratri sangat pelan-pelan dalam melayani mama dan adiknya. 
“Kenapa mereka seperti ini? Kapan sebuah kesembuhan datang menghampiri mereka? Ya Allah berikanlah suatu kesembuhan untuk mereka”, kata-kata itu yang selalu mengalir dengan sendirinya.
Dalam sebuah kesendirian ada rasa bersalah yang menghinggapi seorang Ratri. Sabtu, 30 Maret 2013. Ratri mencoba keluar rumah, berharap udara malam yang dingin bisa merasuki tubuhnya. Angin sepoi-sepoi membelai rambut panjang gadis itu. Bintang-bintang bertaburan di atas sana. Jauh dari sebuah kebisingan kota metropolitan. Dan masih tersenyum menyapaku, walau ini sudah menjelang tengah malam. Happy New Year… Happy New Year… Bukan! Ini bukan Tahun Baru. Tak ada kembang api. Juga tak ada pula terompet. Gulungan kertas yang memekakan kupingku hingga menjalar naik ke ubun-ubun. Ini hanyalah tengah malam yang biasa. Tengah malam yang dapat kuraih karena sebuah kesulitan. 
“Kenapa tak ada sebuah bintang yang jatuh dari peraduannya? Apakah aku sebegitu hinanya? Sampai-sampai tak satu pun bintang yang bisa ku pinta”, ucapku yang semakin lama semakin ngawur. 
Ngawur? Ya.. seharusnya berharap itu bukan dengan sebuah bintang, tapi dengan Tuhan Yang Agung. Duduk melamun sambil merasakan angin malam yang semakin berhembus kencang. Dan Ratri membiarkan hembusan angin itu mematahkan tulang-tulangnya.  Tak ada teman yang bisa membuatnya emosi.
Tepat pukul 1 dini hari. Kelopak mata ini seakan menjerit-njerit minta istirahat. Ratri beranjak dari duduknya dan menghempaskan tubuhnya di kasur empuknya. 
“Aku harus istirahat, kalau tidak tubuhku habis dimakan rasa capek”, hatiku serasa berbicara, walau sebenarnya kelopak mata ini sudah terpejam.
Pukul 05.30 WIB. Bola emas sudah muncul dari ufuk timur. Pepohanan nan hijau sudah melambaikan rantingnya, seiring dengan angin yang berhembus semilir. Rumput ilalang juga sudah menyapaku dengan mesra. Dan burung pipit itu seakan sudah berdendang dengan kaki kecil yang bertengger di sebatang ranting. “
Huahhh..” erangan Ratri saat ia terbangun dari sebuah mimpi tidurnya. Badannya lunglai. Karena tidak ada yang mau ia kerjakan hari ini. 
“Sebenarnya kenapa ini? Ini bukan sifatku! Ibarat ada noda yang melebur dalam diriku,” kata Ratri yang terus saja mengusap-usap matanya. 
Segera ia menghapus noda itu. Ratri mengerjakan setiap pekerjaan rumah yang biasanya tidak ia kerjakan. Mulai dari menyiapkan makanan sampai mencuci pakaian.
Dilihatnya, adik dan mamanya masih tertidur pulas karena memang ini hari minggu. Dalam hatinya, terdapat sebuah bongkah rasa bersalah di dasar hatinya.  
“Perilakumu memang membuat kakak kesal, tapi..” rasanya aku tak mau melanjutkan kata-kata itu. 
Ku tak mau menitikkan butiran air suci dari kedua mata ini. Kemudian, Ratri melanjutkan pekerjaan yang ia kerjakan.
Waktu memang berjalan cepat jika dijalani dengan hal yang positif. Hari ini Ratri sudah mulai bersekolah setelah sekian minggu ia menjalani masa kurungannya di rumah. Masa kurungan? Yap.. Bagi seorang Ratri, libur adalah masa terburuk di dunia dibandingkan masa jahiliah yang pernah menyerang daerah Saudi Arabia dahulu. Mungkin berlanjut sampai sekarang ini. Dengan berbekal kertas, alat tulis, dan buku-bukunya yang setebal kulit gajah itu, pintu dan kamarnya seolah tak bernyawa. Tidak seperti biasanya, dimana Ratri selalu membuat jantung terbalik karena benturan keras dari pintunya. Senyap, sunyi dan tenang. Terlukis jelas jejak sandal yang pernah dilemparnya.
Jam alarm disana terus bergetar, yang menunjukkan pukul 3 sore. Dimana Ratri selalu terbangun saat jam itu bergoyang minta dimatikan.Ratri berjalan hingga meraih jam alarm itu. Mati. 
“Kak..” ucap Lingga dengan suara lirih. Malah hampir saja tidak terdengar. Beruntung Ratri mempunyai pendengaran yang tajam, seperti burung hantu. 
“Eh.. apa Ling?” jawab Ratri. 
“Malam ini Lingga pengen tidur di sini. Boleh?” pinta Lingga. 
“Oh.. boleh-boleh. Silahkan.” 
Malam ini Ratri merasa bahwa ia benar-benar mempunyai adik.
Pepohonan seolah mengetuk jendela kamarku.  Badai semalam seakan berubah menjadi musim semi dengan berjuta bunga sakuranya. Lingga sembuh. Mama pun juga sudah sembuh. Ratri berucap ribuan rasa bersyukur kepada yang diatas. Ratri memeluk tubuh adiknya itu. Hari ini benar-benar “the best day” dalam perjalanan hidupnya. Melebihi Valentine’s day ataupun April Mop. Karena sesungguhnya Ratri sangat mencintai mama dan Lingga. Menuai kedamaian di balik sebuah cobaan. Seolah kata-kata ketus dan kasarnya lari melarikan diri begitu saja. Mungkin mereka berdua sudah berada di neraka Jahanam yang panasnya melebihi suhu matahari. Dan disana, mereka mendapat keabadian yang lebih abadi. Hidup hanya ada 2 sisi yang berbeda. Yaitu “penderitaan dan kebahagiaan”, namun dari situlah kita akan menjadi kuat dan tegar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar