My Playlist

Jumat, 19 Juli 2013

Cerpen Cinta Remaja


KISS the RAIN


H

ujan itu telah menjadi sebuah isyarat. Dan mengubahnya menjadi badai. Di saat, dimana Sang matahari menuju titik peristirahatannya. Saat semua memori terputar, hanya ada 1 kepastian. Cinta itu membuatku lebih mengerti.



Brukkk !!?@$ˠ/*
“Eh, sorry sorry… Aku sama sekali tidak tahu. Biar aku saja yang membereskannya.”
“E. . . iya, tak apa kok.”
Hatiku cukup kaget saat dengan tidak sengaja aku menabrak dan menjatuhkan buku milik gadis itu. *Oh, tidak*
“Ini bukunya. Kau tidak apa, kan? Aku benar-benar tidak sengaja. Sumpah!”
“Eh, m makasih. Ah tidak, aku tidak apa-apa. Tadi aku juga terlalu ceroboh. Aku juga maaf,” kata gadis itu yang kemudian dia pergi menjauh.
Aku masih berdiri terpaku. Mataku tidak lepas dari sosok gadis itu. Sosok yang selalu menjadi kenanganku. ‘Tapi, apakah betul dia gadis itu?’
“Maaf,” ucapku yang membuat gadis itu berhenti dari langkahnya dan menatapku. Ah, ternyata dia masih bisa mendengar ucapanku.
“Iya?”
“Mm.. tidak, tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Aku Ibrahim.”
“Ibrahim? Ibrahim Sanjaya? Betulkah itu namamu?”
“Eh, iya betul. Bagaimana kau__”
“Bram! Ternyata dugaanku tidak meleset. Ya, Bram ini aku Senja. Apa kabar kakak? Lama kita tak berjumpa,” ucap gadis itu yang ternyata benar dia.
“Kamu tahu.. sungguh dunia ini sempit. Ya, aku baik-baik saja.”
****
Dia cantik. Pembawaannya yang selalu ceria tidak pernah luntur dari dirinya. Aku sudah menantikan untuk bertemu dengannya. Senja, orang yang selalu menemaniku. Dan sabar menghadapi emosiku. Entah, apa yang membuat kita bertemu di sini. Setelah sekian tahu dari kelulusan menengah pertama, kini kita bertemu di universitas ini.
****
Pertemuan itu menambah erat hubungan persahabatan kami. Tetapi, dari dulu sampai sekarang, aku tidak pernah bisa untuk tidak meluapkan amarahku kepadanya. Sungguh bodohnya diriku. Orang yang ku sayang juga menjadi sasaran amarah mautku.Tapi, dia hanya pergi begitu saja. Hingga suatu saat dia benar-benar telah menjadi pahlawan kesianganku. Hohoho…
“Hei, kau!”
Senja datang tergopoh-gopoh saat aku sudah lemas karena pukulan seribu bayangan dari para jambret itu. Memang sih, pada saat itu tidak ada yang hilang dari apa yang aku punya.
Dan *Bruukkkk…* Perempuan itu memang hebat. Menghabisi mereka semua dan berlari ke arahku.
“Kau tidak apa? Seharusnya kau tadi mengahajarnya! Bukankah kau sama laki-laki juga,” bentak Senja yang sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
“Iya, aku tidak apa. Saat ini aku sedang terkena musibah! Mengertilah sedikit!”
Dia benar-benar memarahiku, tapi Senja tetap menuntunku dan mengobati luka di sekujur wajahku. ‘Kau ini benar-benar pengertian’
****
Waktu yang sering kuhabiskan bersama Senja tidak membuat seorang Denisa, pacarku marah dan meminta untuk putus. Dia sering mendatangi kampusku saat punya waktu senggang. Senja juga tidak keberatan dengan hadirnya Denisa di tengah-tengah kami.
****
Pukul 06.15. Tetap saja mata ini tidak mau membuka. Hingga….
*Kringg…. Kringg…*                    
“Ya, halo.”
“Sayang, ini aku Denisa. Jadwal pesawatku maju satu jam. Jadi, biar aku berangkat sendiri saja. Oh, iya jaga dirimu baik-baik ya!”
“Eh, iya.. iya. Bye,” jawabku singkat.
*Tuut.. tuut* Nada berakhirnya panggilan sudah terdengar. Ya, hari ini adalah hari keberangkatan Denisa ke Canada. Mengurus pekerjaan ayahnya yang sudah lama menumpuk. Tapi, aku tidak tahu kepastian kapan dia akan pulang ke Indonesia dan menemuiku. Ah, pasti itu akan mengharukan.
****
2 tahun sudah semenjak Denisa meninggalkan Indonesia. Tapi, penantian ini tetap aku jaga hanya untuk dirinya seorang.
“Halo, Can I speak with Bram?”
“Yeah. It’s me. Who is it?”
“Bram, ini aku Denisa. Aku sudah sampai di Indonesia tadi malam.”
“Denisa? Ah, syukurlah __”
“Bram Bram.. aku ingin bertemu denganmu malam ini. Bisakah kau?”
“Tentu. Oke . ..”
Dia sudah kembali ke Indonesia. Sungguh sebuah moment yang sangat kurindukan.
****
“Apa ini? Undangan pernikahan? Siapa?” tanyaku yang dengan berusaha membuka undangan itu.
“Itu… itu aku, Bram!”
“Kau? Bisa saja kau bercanda.”
‘Apa yang ia pikirkan saat ini? Memberikanku undangan dengan berucap seperti itu’. Hatiku terus bertanya-tanya hingga aku benar-benar melihat nama dan foto itu di undangan.
“Aku minta maaf, tapi kau harus percaya! A. . ak . .aku yang memilih ini semua. Maafin aku.”
“Ya, aku tahu. Tapi aku belum mengerti maksudmu,” ucapku dengan suara yang sangat ku paksakan. Bernafas saja sulit rasanya.
“Aku di jodohkan, Bram! Sungguh! Aku juga __”
“Sudahlah, Denisa. Pergilah. Aku sungguh senang bisa melihatmu lagi disini. Itu cukup bagiku. Itu takdirmu. Kau harus siap! Permisi..”
‘Kenapa aku begini? Aku pergi dari tempat itu. Bahkan dari hidupnya’.
Aku tidak tahan melihat keadaanku yang menyedihkan ini. Sungguh. Jadi, aku pergi ke suatu tempat untuk mencari ketenangan. Satu tempat yang terbesit dalam pikiranku adalah taman yang sangat Senja sukai.
****
Satu-satunya orang yang ingin ku hubungi hanyaah Senja. Aku tahu itu. Dan aku percaya dia akan mengubah moodku lagi.
“Halo, Senja. Kau dimana sekarang?”
“Rumah sakit.”
“Ada apa denganmu? Sakit?”
“Ah, tidak. Memang sudah saatnya aku check up. Tidak ada yang perlu di khawatirkan, kok!”
“Oh, jika begitu, cepat kau kemari!”
“Apa? Ada apa? Aku tidak bisa. Sungguh.”
“Hei, sudahlah cepat kau kemari. Saat ini aku sedang mencoba bunuh diri.”
“Apa!? Hei, bodoh! Oke oke . . aku akan kesana. Sungguh merepotkan saja kau ini!”
Apa yang aku katakan? Seharusnya aku tidak mengganggu urusannya saat ini. Memang, sudah 2 hari ini Senja pamit menginap di rumah sakit. Tapi, aku tak tahu apa alasannya. Hanya pernah sekali saja dia membahas mengenai penyakit mematikan yang menyerang kepala. Mungkin itu semua tak ada hubungannya.
****
“Hei, hentikan! Jangan bertindak bodoh kau ini! Aku mohon.”
Aku bisa mengidentifikasi bahwa itu suara Senja. Terdengar derap langkah kaki Senja yang semakin lama mendekatiku. Aku juga bisa mendengar napasnya yang terengah- engah. Dasar anak ini! Padahal, aku sama sekali tidak menyuruhnya berlari.
“Aku mohon jangan lakukan itu, Bram!”
“Apa? Bunuh diri? Tidak.. Akhirnya kau datang juga, Senja.” Aku masih enggan untuk menatap mata Senja dengan keadaanku yang seperti ini. Dan aku hanya berdiri membelakanginya.
“Apa!? Oke . . cepat ceritakan apa masalahmu saat ini! Aku akan mendengarnya.”
“Aku bodoh! Sungguh!” Sekian detik setelah mengucapkan detik, Senja hanya terdiam saja.
Entah apa yang dia pikirkan. Suasana pun juga menjadi hening.
“Gadis itu sungguh telah menusukku. Sakit. Amat sakit rasanya!” cara berbicaraku semakin tidak karuan. Mungkinkah karena tidak ada respon darinya? Jadi, ku putuskan untuk melihatnya yang berdiri dibelakangku.
“Aku mencintaimu, Senja. Kau membuatku seolah menjadi makhluk yang bernyawa bahkan hanya dengan senyummu. Percayalah! Aku ingin kau berada disisiku bukan untuk pelarianku saja. Sungguh!” Aku tak percaya mulut ini mengatakan itu semua. Dan aku memeluknya. Untuk meredakan sakit ini.
“Aku juga, Bram. Aku mencintaimu. Lebih dari cintamu padanya,”ucap Senja yang semakin lama suaranya makin tidak terdengar.
“Apa? Apa yang kau katakan? Sungguhkah itu, Senja?” ucapku yang masih tetap memeluknya.
 Dan saat itu hujan deras mengguyur kami berdua. Tapi, tidak ada satu kata pun dari Senja. Atau mungkin suaranya yang lirih termakan suara derasnya hujan? Tapi, aku berharap dia berkata “sungguh”.
“Senja?” Mata itu tertutup dan aku merasakan tubuhnya dingin dan lemas. Kenapa dia?
Oh, ya Tuhan! Kenapa kau mengambilnya sekarang. Disaat seperti ini. Senja sudah tak bernyawa dipelukanku. Sungguh pukulan kedua yang amat dahsyat bagiku. Aku benar-benar sakit atas kepergiannya. Sesuatu yang membuatku terus memeluk jasadnya.




“ Senja… Sungguh aku damai bersamamu! ”










______The End______

Tidak ada komentar:

Posting Komentar