H
|
ujan itu telah menjadi sebuah isyarat. Dan mengubahnya menjadi badai. Di saat,
dimana Sang matahari menuju titik peristirahatannya. Saat semua memori
terputar, hanya ada 1 kepastian. Cinta itu membuatku lebih mengerti.
Brukkk
!!?@$ˠ/*
“Eh, sorry sorry… Aku sama sekali tidak tahu. Biar
aku saja yang membereskannya.”
“E. . . iya, tak apa kok.”
Hatiku cukup kaget saat dengan tidak sengaja aku menabrak dan
menjatuhkan buku milik gadis itu. *Oh, tidak*
“Ini bukunya. Kau tidak apa, kan? Aku benar-benar
tidak sengaja. Sumpah!”
“Eh, m makasih. Ah tidak, aku tidak apa-apa. Tadi
aku juga terlalu ceroboh. Aku juga maaf,” kata
gadis itu yang kemudian dia pergi menjauh.
Aku masih berdiri terpaku. Mataku tidak lepas dari sosok gadis itu.
Sosok yang selalu menjadi kenanganku. ‘Tapi, apakah betul dia gadis itu?’
“Maaf,” ucapku yang membuat gadis itu berhenti dari
langkahnya dan menatapku. Ah, ternyata dia masih bisa mendengar ucapanku.
“Iya?”
“Mm.. tidak, tapi apakah kita pernah bertemu
sebelumnya? Aku Ibrahim.”
“Ibrahim? Ibrahim Sanjaya? Betulkah itu namamu?”
“Eh, iya betul. Bagaimana kau__”
“Bram! Ternyata dugaanku tidak meleset. Ya, Bram
ini aku Senja. Apa kabar kakak? Lama kita tak berjumpa,” ucap gadis itu yang
ternyata benar dia.
“Kamu tahu.. sungguh dunia ini sempit. Ya, aku
baik-baik saja.”
****
Dia cantik. Pembawaannya yang selalu ceria tidak
pernah luntur dari dirinya. Aku sudah menantikan untuk bertemu dengannya.
Senja, orang yang selalu menemaniku. Dan sabar menghadapi emosiku. Entah, apa
yang membuat kita bertemu di sini. Setelah sekian tahu dari kelulusan menengah
pertama, kini kita bertemu di universitas ini.
****
Pertemuan itu menambah erat hubungan persahabatan
kami. Tetapi, dari dulu sampai sekarang, aku tidak pernah bisa untuk tidak
meluapkan amarahku kepadanya. Sungguh bodohnya diriku. Orang yang ku sayang
juga menjadi sasaran amarah mautku.Tapi, dia hanya pergi begitu saja. Hingga
suatu saat dia benar-benar telah menjadi pahlawan kesianganku. Hohoho…
“Hei, kau!”
Senja datang tergopoh-gopoh saat aku sudah lemas
karena pukulan seribu bayangan dari para jambret itu. Memang sih, pada saat itu
tidak ada yang hilang dari apa yang aku punya.
Dan *Bruukkkk…* Perempuan itu memang hebat.
Menghabisi mereka semua dan berlari ke arahku.
“Kau tidak apa? Seharusnya kau tadi mengahajarnya!
Bukankah kau sama laki-laki juga,” bentak Senja yang sambil mengulurkan
tangannya kepadaku.
“Iya, aku tidak apa. Saat ini aku sedang terkena
musibah! Mengertilah sedikit!”
Dia benar-benar memarahiku, tapi Senja tetap menuntunku dan mengobati
luka di sekujur wajahku. ‘Kau ini benar-benar pengertian’
****
Waktu yang sering kuhabiskan bersama Senja tidak
membuat seorang Denisa, pacarku marah dan meminta untuk putus. Dia sering
mendatangi kampusku saat punya waktu senggang. Senja juga tidak keberatan
dengan hadirnya Denisa di tengah-tengah kami.
****
Pukul 06.15. Tetap saja mata ini tidak mau membuka. Hingga….
*Kringg…. Kringg…*
“Ya, halo.”
“Sayang, ini aku Denisa. Jadwal pesawatku maju satu
jam. Jadi, biar aku berangkat sendiri saja. Oh, iya jaga dirimu baik-baik ya!”
“Eh, iya.. iya. Bye,” jawabku singkat.
*Tuut.. tuut* Nada berakhirnya panggilan sudah
terdengar. Ya, hari ini adalah hari keberangkatan Denisa ke Canada. Mengurus
pekerjaan ayahnya yang sudah lama menumpuk. Tapi, aku tidak tahu kepastian
kapan dia akan pulang ke Indonesia dan menemuiku. Ah, pasti itu akan
mengharukan.
****
2 tahun sudah semenjak Denisa meninggalkan
Indonesia. Tapi, penantian ini tetap aku jaga hanya untuk dirinya seorang.
“Halo, Can I speak with Bram?”
“Yeah. It’s me. Who is it?”
“Bram, ini aku Denisa. Aku sudah sampai di
Indonesia tadi malam.”
“Denisa? Ah, syukurlah __”
“Bram Bram.. aku ingin bertemu denganmu malam ini.
Bisakah kau?”
“Tentu. Oke . ..”
Dia sudah kembali ke Indonesia. Sungguh sebuah moment yang sangat
kurindukan.
****
“Apa ini? Undangan
pernikahan? Siapa?” tanyaku yang dengan berusaha membuka undangan itu.
“Itu… itu aku, Bram!”
“Kau? Bisa saja kau
bercanda.”
‘Apa yang ia pikirkan saat ini? Memberikanku undangan dengan berucap
seperti itu’. Hatiku terus bertanya-tanya hingga aku benar-benar melihat nama
dan foto itu di undangan.
“Aku minta maaf, tapi
kau harus percaya! A. . ak . .aku yang memilih ini semua. Maafin aku.”
“Ya, aku tahu. Tapi
aku belum mengerti maksudmu,” ucapku dengan suara yang sangat ku paksakan.
Bernafas saja sulit rasanya.
“Aku di jodohkan,
Bram! Sungguh! Aku juga __”
“Sudahlah, Denisa.
Pergilah. Aku sungguh senang bisa melihatmu lagi disini. Itu cukup bagiku. Itu
takdirmu. Kau harus siap! Permisi..”
‘Kenapa aku begini? Aku pergi dari tempat itu. Bahkan dari hidupnya’.
Aku tidak tahan melihat keadaanku yang menyedihkan
ini. Sungguh. Jadi, aku pergi ke suatu tempat untuk mencari ketenangan. Satu
tempat yang terbesit dalam pikiranku adalah taman yang sangat Senja sukai.
****
Satu-satunya orang yang ingin ku hubungi hanyaah
Senja. Aku tahu itu. Dan aku percaya dia akan mengubah moodku lagi.
“Halo, Senja. Kau dimana sekarang?”
“Rumah sakit.”
“Ada apa denganmu? Sakit?”
“Ah, tidak. Memang sudah saatnya aku check up.
Tidak ada yang perlu di khawatirkan, kok!”
“Oh, jika begitu, cepat kau kemari!”
“Apa? Ada apa? Aku tidak bisa. Sungguh.”
“Hei, sudahlah cepat kau kemari. Saat ini aku
sedang mencoba bunuh diri.”
“Apa!? Hei, bodoh! Oke oke . . aku akan kesana.
Sungguh merepotkan saja kau ini!”
Apa yang aku katakan? Seharusnya aku tidak
mengganggu urusannya saat ini. Memang, sudah 2 hari ini Senja pamit menginap di
rumah sakit. Tapi, aku tak tahu apa alasannya. Hanya pernah sekali saja dia
membahas mengenai penyakit mematikan yang menyerang kepala. Mungkin itu semua
tak ada hubungannya.
****
“Hei, hentikan! Jangan bertindak bodoh kau ini! Aku
mohon.”
Aku bisa mengidentifikasi bahwa itu suara Senja.
Terdengar derap langkah kaki Senja yang semakin lama mendekatiku. Aku juga bisa
mendengar napasnya yang terengah- engah. Dasar anak ini! Padahal, aku sama
sekali tidak menyuruhnya berlari.
“Aku mohon jangan lakukan itu, Bram!”
“Apa? Bunuh diri? Tidak.. Akhirnya kau datang juga,
Senja.” Aku masih enggan untuk menatap mata Senja dengan keadaanku yang seperti
ini. Dan aku hanya berdiri membelakanginya.
“Apa!? Oke . . cepat ceritakan apa masalahmu saat
ini! Aku akan mendengarnya.”
“Aku bodoh! Sungguh!” Sekian detik setelah
mengucapkan detik, Senja hanya terdiam saja.
Entah apa yang dia pikirkan. Suasana pun juga menjadi hening.
“Gadis itu sungguh telah menusukku. Sakit. Amat
sakit rasanya!” cara berbicaraku semakin tidak karuan. Mungkinkah karena tidak
ada respon darinya? Jadi, ku putuskan untuk melihatnya yang berdiri
dibelakangku.
“Aku mencintaimu, Senja. Kau membuatku seolah
menjadi makhluk yang bernyawa bahkan hanya dengan senyummu. Percayalah! Aku
ingin kau berada disisiku bukan untuk pelarianku saja. Sungguh!” Aku tak
percaya mulut ini mengatakan itu semua. Dan aku memeluknya. Untuk meredakan
sakit ini.
“Aku juga, Bram. Aku mencintaimu. Lebih dari
cintamu padanya,”ucap Senja yang semakin lama suaranya makin tidak terdengar.
“Apa? Apa yang kau katakan? Sungguhkah itu, Senja?”
ucapku yang masih tetap memeluknya.
Dan saat
itu hujan deras mengguyur kami berdua. Tapi, tidak ada satu kata pun dari
Senja. Atau mungkin suaranya yang lirih termakan suara derasnya hujan? Tapi,
aku berharap dia berkata “sungguh”.
“Senja?” Mata itu tertutup dan aku merasakan
tubuhnya dingin dan lemas. Kenapa dia?
Oh, ya Tuhan! Kenapa kau mengambilnya sekarang.
Disaat seperti ini. Senja sudah tak bernyawa dipelukanku. Sungguh pukulan kedua
yang amat dahsyat bagiku. Aku benar-benar sakit atas kepergiannya. Sesuatu yang
membuatku terus memeluk jasadnya.
“ Senja… Sungguh aku damai
bersamamu! ”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar