R
|
eputasiku menjadi anak yang selalu
mendudukan diri di tingkat 1 sekolah juga dikenal sebagai siswi teladan, hari
ini setengah hilang dihadapan guru piket yang menghukumku berdiri di tengah
lapangan sampai jam istirahat selesai. Hanya karena aku telat 20 menit.
‘Huh, ini guru bener-bener tidak toleran. Aku kan punya alasan khusus untuk keterlambatanku ini!?!?’ umpatku dalam hati.
****
“Dinar, darimana saja kau ini? Kupikir kau
absen hari ini,” panggil Ana yang memang selalu mengkhawatirkanku.
“Eumm.. menurutmu bagaimana dengan hukuman
di tengah lapangan?”
“Apa.. Astaga kau terlambat? Lalu
bagaimana keadaanmu? Oke, kan?”
“Ah sudahlah itu tidak penting lagi sayang…
(Selama aku anggap itu pelajaran untukku).”
“O iya, kau tahu tidak jika hari ini ada
bintang di kelas kita.. malah bisa bisa menjadi bintang di sekolah juga __”
senyum Ana mulai melebar, tetapi segera kusambar percakapan itu yang menambah
Ana memperlihatkan semua giginya yang memakai behel itu.
“Tunggu-tunggu… biar aku tebak! Laki-laki,
murid pindahan, putih, yah kemungkinan pintar, dan terakhir punya keturunan
dari arab. Iya, kan?”
“Yap.. kau ini benar-benar pandai! Kau
akan terpesona juga jika kau melihatnya langsung.”
“Ah, tidak-tidak. Aku sudah melihatnya.
Tenanglah!” jawabku dengan santai.
****
Kring…. Kring…!! Bel sekolah berbunyi,
terdengar di setiap kelas yang ada. Tentu saja, karena hari ini aku ingin
sekali ke toko buku.
“Ah,
bentar ya mbak,” pekikku ketika aku benar-benar memaksa muntah isi tasku untuk
sebuah dompet.
“Emm…
mbak, bagaimana kalau.. kalau saya meninggalkan dulu kartu pelajar sebagai
jaminan buku ini? Sepertinya saya kehilangan dompet saya,” kataku setengah
malu.
“Tidak
bisa mbak.. ini sudah peraturan. Silahkan masnya yang mau bayar!”kata penjaga
kasir yang langsung seenaknya saja menggeser posisi antreanku.
Terpaksa aku memutuskan
untuk pergi dari toko buku itu. Tetapi, tiba-tiba aku dikagetkan oleh tangan
yang menyentuh pundakku.
“Eh,
maaf, apa ini buku yang kamu inginkan? Aku sudah membayarnya tadi. Anggap saja
ini sebagai pertolonganku,” ucap laki-laki itu yang kemudian menyodorkan buku
itu kepadaku.
Aku hanya sekilas saja menatapnya dan
laki-laki itu pergi begitu saja.
****
Malam ini benar-benar
dingin, mengilukan setiap saraf yang ada di tubuhku. Seolah menyiratkan apa yang
telah berlalu dimalam ini. Sungguh… darah ini terasa beku dan air mata ini
sudah menjadi kristal. Angin mengabarkan berita duka yang membuat aku nyaris
tidak percaya dan keluargaku menangisinya. Ayahku meninggal ketika perjalanan
pulang dari luar jawa. Aku pikir ini cuma mati yang belum pasti, tapi… ini
benar kenyataan.
****
Singkat cerita, aku bertemu
dengan laki-laki yang pernah menjadi penolongku. Ya… laki-laki yang berada di
toko buku itu. Karena urusan kuliah yang banyak menyita waktu bersama fakultas
komunikasi, aku dan Yudisthira, nama laki-laki itu, menjadi sepasang teman.
Sama hobi, sama sifat, dan sama-sama memiliki kecerdasan di bidang teknologi.
Tak tahu kenapa, aku selalu
terpesona saat melihat kedua bola matanya. Indah juga berbeda. Tapi, aku tak
pernah terpikir untuk menanyakannya. Hingga suatu saat, aku mencoba bertanya
mengenai matanya saat berkunjung ke rumahnya.
“Waktu
malam itu, aku mengalami kecelakaan hebat. Tapi, aku tak mau mengingat
persisnya kecelakaan itu terjadi __”
“Kecelakaan
itu melibatkan aku dengan seorang pengendara mobil yang menurut cerita, dia
meninggal di tempat. Aku merasa tubuhku dihempaskan ke tanah dengan rasa nyeri
di sekujur tubuhku terutama di bagian penglihatanku. Pandangan sekitar menjadi
kabur separo ketika aku melihat seseorang mengangkat tubuhku dari sana. Aku
sadar bahwa aku telah menghilangkan separo dari penglihatanku. Aku buta untuk
duniaku ini!”raut muka Yudhistira berubah menjadi sedih ketika menjelaskannya
semua.
“Aku
hampir putus asa hingga mata hitam ini menjadi milikku. Aku sangat berterima
kasih terhadap orang yang rela mendonorkannya untukku, karena pada malam
kecelakaan itu juga aku harus secepatnya mendapat donor mata.”
“Apa
kebetulan saja kau langsung mendapat donor mata malam itu?”
“Bisa
dibilang ya. Karena yang menjadi donor darah adalah orang yang mati dalam
kecelakaan itu. Tahukah kau, jika itu adalah ayahmu, Dinar!”
“Dan
ternyata, dia juga ayah kandungku, yang sudah tak pernah ku temui sejak
percerainnya dengan ibuku.”
Ucapan Yudhistira lebih
menekan. Dia amat menahan air mata itu. Amat. Aku tak bisa menerima semua
kenyataan yang berhadapan denganku juga Yudhistira, orang yang amat aku cintai
selama ini.
“Yudhis,
aku sebaiknya pulang sekarang. Maaf aku tak tahu semua ini dan membuat hubungan
ini semakin mengikat,” ucapanku yang kurasa pantas kukatakan padanya.
****
Hari itu juga, aku pergi dan
membiarkan diri dalam kecepatan tinggi di tengah guyuran air hujan. Atau
mungkinkah itu air mataku?
****
Bunyi tangisan dan aroma
yang tidak pernah kusukai, rumah sakit menyelubungi seluruh tubuhku yang masih
terasa sakit. ‘Apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa aku hanya bisa melihat
kegelapan?’ aku berpikir seratus kali lipat untuk hal itu.
Untuk pertama kalinya, aku
kehilangan kedua mataku.‘Tidak.. apakah aku terlalu bodoh? Menghancurkan diriku
sendiri dengan cara begini’
****
Hingga akhirnya aku membuka
mata, dan untuk terakhir kalinya aku bisa melihat wajah orang-orang yang aku
cintai. Dengan senyumnya, mama memberikanku bunga dan surat yang terdapat di
sela-sela bunga harum itu.
To : Dinar
Dinar.. terima kasih atas cinta yang
membuatku tetap bertahan disini. Sampai detik ini, aku tahu kau kecewa. Aku pun
begitu. Aku marah terhadap diriku sendiri. Oleh karena itu, aku memutuskan
untuk melanjutkan sekolah jauh dari cinta kita berdua. Aku takkan membiarkanmu
hidup dalam kegelapan yang sebagaimana pernah terjadi padaku. Percayalah aku
hidup dalam dirimu.
Salam,
Yudhistira
‘Aku hidup dalam dirimu?’
Aku cepat-cepat bangkit dan meraih kaca.
Aku melihat setiap sudut bola mataku. Astaga…. Mata itu!! Mata Yudhis dan mata
ayah.
______The End______
Tidak ada komentar:
Posting Komentar