My Playlist

Kamis, 11 Juli 2013

Cerpen Remaja

Mata Itu .....


R
eputasiku menjadi anak yang selalu mendudukan diri di tingkat 1 sekolah juga dikenal sebagai siswi teladan, hari ini setengah hilang dihadapan guru piket yang menghukumku berdiri di tengah lapangan sampai jam istirahat selesai. Hanya karena aku telat 20 menit.
‘Huh, ini guru bener-bener tidak toleran. Aku kan punya alasan khusus untuk keterlambatanku ini!?!?’ umpatku dalam hati.
****
“Dinar, darimana saja kau ini? Kupikir kau absen hari ini,” panggil Ana yang memang selalu mengkhawatirkanku.
“Eumm.. menurutmu bagaimana dengan hukuman di tengah lapangan?”
“Apa.. Astaga kau terlambat? Lalu bagaimana keadaanmu? Oke, kan?”
“Ah sudahlah itu tidak penting lagi sayang… (Selama aku anggap itu pelajaran untukku).”
“O iya, kau tahu tidak jika hari ini ada bintang di kelas kita.. malah bisa bisa menjadi bintang di sekolah juga __” senyum Ana mulai melebar, tetapi segera kusambar percakapan itu yang menambah Ana memperlihatkan semua giginya yang memakai behel itu.
“Tunggu-tunggu… biar aku tebak! Laki-laki, murid pindahan, putih, yah kemungkinan pintar, dan terakhir punya keturunan dari arab. Iya, kan?”
“Yap.. kau ini benar-benar pandai! Kau akan terpesona juga jika kau melihatnya langsung.”
“Ah, tidak-tidak. Aku sudah melihatnya. Tenanglah!” jawabku dengan santai.
****
Kring…. Kring…!! Bel sekolah berbunyi, terdengar di setiap kelas yang ada. Tentu saja, karena hari ini aku ingin sekali ke toko buku.
“Ah, bentar ya mbak,” pekikku ketika aku benar-benar memaksa muntah isi tasku untuk sebuah dompet.
“Emm… mbak, bagaimana kalau.. kalau saya meninggalkan dulu kartu pelajar sebagai jaminan buku ini? Sepertinya saya kehilangan dompet saya,” kataku setengah malu.
“Tidak bisa mbak.. ini sudah peraturan. Silahkan masnya yang mau bayar!”kata penjaga kasir yang langsung seenaknya saja menggeser posisi antreanku.
Terpaksa aku memutuskan untuk pergi dari toko buku itu. Tetapi, tiba-tiba aku dikagetkan oleh tangan yang menyentuh pundakku.
“Eh, maaf, apa ini buku yang kamu inginkan? Aku sudah membayarnya tadi. Anggap saja ini sebagai pertolonganku,” ucap laki-laki itu yang kemudian menyodorkan buku itu kepadaku.
Aku hanya sekilas saja menatapnya dan laki-laki itu pergi begitu saja.
****
Malam ini benar-benar dingin, mengilukan setiap saraf yang ada di tubuhku. Seolah menyiratkan apa yang telah berlalu dimalam ini. Sungguh… darah ini terasa beku dan air mata ini sudah menjadi kristal. Angin mengabarkan berita duka yang membuat aku nyaris tidak percaya dan keluargaku menangisinya. Ayahku meninggal ketika perjalanan pulang dari luar jawa. Aku pikir ini cuma mati yang belum pasti, tapi… ini benar kenyataan.
****
Singkat cerita, aku bertemu dengan laki-laki yang pernah menjadi penolongku. Ya… laki-laki yang berada di toko buku itu. Karena urusan kuliah yang banyak menyita waktu bersama fakultas komunikasi, aku dan Yudisthira, nama laki-laki itu, menjadi sepasang teman. Sama hobi, sama sifat, dan sama-sama memiliki kecerdasan di bidang teknologi.
Tak tahu kenapa, aku selalu terpesona saat melihat kedua bola matanya. Indah juga berbeda. Tapi, aku tak pernah terpikir untuk menanyakannya. Hingga suatu saat, aku mencoba bertanya mengenai matanya saat berkunjung ke rumahnya.
“Waktu malam itu, aku mengalami kecelakaan hebat. Tapi, aku tak mau mengingat persisnya kecelakaan itu terjadi __
“Kecelakaan itu melibatkan aku dengan seorang pengendara mobil yang menurut cerita, dia meninggal di tempat. Aku merasa tubuhku dihempaskan ke tanah dengan rasa nyeri di sekujur tubuhku terutama di bagian penglihatanku. Pandangan sekitar menjadi kabur separo ketika aku melihat seseorang mengangkat tubuhku dari sana. Aku sadar bahwa aku telah menghilangkan separo dari penglihatanku. Aku buta untuk duniaku ini!”raut muka Yudhistira berubah menjadi sedih ketika menjelaskannya semua.
“Aku hampir putus asa hingga mata hitam ini menjadi milikku. Aku sangat berterima kasih terhadap orang yang rela mendonorkannya untukku, karena pada malam kecelakaan itu juga aku harus secepatnya mendapat donor mata.”
“Apa kebetulan saja kau langsung mendapat donor mata malam itu?”
“Bisa dibilang ya. Karena yang menjadi donor darah adalah orang yang mati dalam kecelakaan itu. Tahukah kau, jika itu adalah ayahmu, Dinar!”
“Dan ternyata, dia juga ayah kandungku, yang sudah tak pernah ku temui sejak percerainnya dengan ibuku.”
Ucapan Yudhistira lebih menekan. Dia amat menahan air mata itu. Amat. Aku tak bisa menerima semua kenyataan yang berhadapan denganku juga Yudhistira, orang yang amat aku cintai selama ini.
“Yudhis, aku sebaiknya pulang sekarang. Maaf aku tak tahu semua ini dan membuat hubungan ini semakin mengikat,” ucapanku yang kurasa pantas kukatakan padanya.
****
Hari itu juga, aku pergi dan membiarkan diri dalam kecepatan tinggi di tengah guyuran air hujan. Atau mungkinkah itu air mataku?
****
Bunyi tangisan dan aroma yang tidak pernah kusukai, rumah sakit menyelubungi seluruh tubuhku yang masih terasa sakit. ‘Apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa aku hanya bisa melihat kegelapan?’ aku berpikir seratus kali lipat untuk hal itu.
Untuk pertama kalinya, aku kehilangan kedua mataku.Tidak.. apakah aku terlalu bodoh? Menghancurkan diriku sendiri dengan cara begini’
****
Hingga akhirnya aku membuka mata, dan untuk terakhir kalinya aku bisa melihat wajah orang-orang yang aku cintai. Dengan senyumnya, mama memberikanku bunga dan surat yang terdapat di sela-sela bunga harum itu.

To : Dinar
Dinar.. terima kasih atas cinta yang membuatku tetap bertahan disini. Sampai detik ini, aku tahu kau kecewa. Aku pun begitu. Aku marah terhadap diriku sendiri. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah jauh dari cinta kita berdua. Aku takkan membiarkanmu hidup dalam kegelapan yang sebagaimana pernah terjadi padaku. Percayalah aku hidup dalam dirimu.
Salam,
Yudhistira

‘Aku hidup dalam dirimu?’
Aku cepat-cepat bangkit dan meraih kaca. Aku melihat setiap sudut bola mataku. Astaga…. Mata itu!! Mata Yudhis dan mata ayah.






______The End______



Tidak ada komentar:

Posting Komentar